Tentang menjadi ‘tutor olimpiade’
Di antara semua profesi yang ada di dunia ini, aku yakin ‘guru’ adalah satu satu profesi paling familiar untuk semua orang. Dengan wajib belajar 9 tahunnya pemerintah, aku yakin hampir seluruh anak-anak Indonesia pernah berinteraksi atau bahkan hampir setiap hari berinteraksi dengan guru. Bagi Salsa kecil, mungkin sekitar 14 tahun yang lalu, guru adalah profesi yang menarik untuk ditirukan. Hobi Salsa yang saat itu berusia 9 tahun adalah menggunakan papan tulis kecil di rumah untuk mengajarkan pelajaran imajinatif di hadapan … boneka-bonekanya. Sebenarnya, porsi benar-benar mengajar sedikit sekali, sih. Aku kebanyakan akan memarahi boneka-boneka itu karena ramai, berantem di kelas, intinya berbuat kericuhan dan mengganggu jalannya pelajaran. Entahlah, saat itu cara guruku memarahi teman-temanku paling terpatri di ingatan. Bukan dalam konteks yang buruk, justru aku merasa, “Wah, guruku sepeduli itu dengan seluruh siswa di kelasnya!”.
Fast forward ke tahun 2023, aku sudah jauuuh melewati masa-masa role-playing suatu profesi. Di usia-usia seperti ini, sudah saatnya aku melakoni suatu profesi for real. Siapa sangka, menjadi guru ternyata adalah profesi yang sejauh ini sudah aku lakukan dalam waktu yang cukup lama. Bukan guru dalam literal sense mengajar siswa di kelas-kelas sekolahan, tapi sebagai tutor olimpiade. Masih mengajar siswa di kelas juga sih, tapi jelas stakes yang terlibat dan—terutama—materi yang harus diajarkan sangat berbeda dengan sekolah konvesional. Hanya saja, aku menyadari, di mana pun guru mengajar, pendidikan keguruan yang meliputi tetek bengek pedagogi, kurikulum, perkembangan siswa, dan lain-lain itu ternyata sangat berguna! Mungkin istilah ‘tutor’ membuat kesan yang lebih santai dan tidak kaku, tapi pada intinya semua yang tutor lakukan adalah yang guru lakukan.
Aku bersyukur selama tiga tahun terakhir bisa mendalami bidang keguruan ini, sesuatu yang ternyata I’m very very passionate about. Dari ilmu keguruan yang aku terima, aku semakin sadar bahwa pada waktu pertama kali aku mengajar 2017 lalu, sebagai seseorang yang bahkan belum lulus SMA tapi diminta untuk membantu suatu camp olimpiade, aku sama sekali nggak tahu apa-apa tentang mengajar and most probably my students thought I sucked very much. Aku ingat, aku saat itu berpikir bahwa “Oh, aku mengajar dua jam! Aku nggak boleh makan gaji buta jadi aku harus make every second counts!”. Tapi ‘make every second counts’ di sini aku maknai secara harfiah. Jadi, tepat setelah mengucapkan salam, aku skip segala macam haha hihi dan langsung menjelaskan materi … for two hours straight. Nggak ada waktu aku berhenti bahkan sekedar untuk bertanya siswaku sudah paham atau belum, apalagi untuk berinteraksi mengenal mereka lebih dekat. Di pikiranku saat itu, mengajar = mentransfer materi. Aku sama sekali nggak paham tentang intricacy di balik “transfer materi” itu melibatkan berbagai strategi pengajaran, asesmen, dan yang paling penting adalah membangun ikatan yang tulus dengan siswa.
Seorang temanku yang jenius pernah bercerita bahwa sebagai veteran olimpiade, dia menerima banyak tawaran mengajar dan sempat melakoninya untuk beberapa waktu. Sampai pada suatu titik, he felt like it got boring. Dia harus mengulangi materi yang sama berkali-kali di hadapan siswa yang berbeda, dan dia tidak lagi melihatnya appealing. He’s onto even greater things now, tapi pengakuannya saat itu membuatku yang pada masa itu belum bosan mengajar menjadi ketakutan. Apakah aku akan sampai ke tahap bosan mengajar?
Surprise surprise, several years later and I’m still finding even more joy in teaching. Karena sekarang aku sudah sedikit lebih berilmu tentang keguruan, aku menganggap kelas yang aku isi adalah sebuah laboratorium. Mengajar materi yang sama dengan siswa yang berbeda, pendekatannya bisa sangat berbeda. Aku merasa tertantang untuk menyesuaikan penjelasanku dengan kemampuan awal, kecepatan belajar, dan kekhasan pribadi setiap siswa. Selain itu, terutama pada konsep-konsep yang aku tahu rawan diajarkan secara tidak benar di sekolah, aku seperti mengemban misi khusus untuk meluruskannya. Aku memang sudah menjelaskan tentang sintesis protein berkali-kali ke banyak orang, tapi ketika diberi kesempatan mengajarkan ke lebih banyak orang, alih-alih bosan, aku justru akan mengambilnya dengan semangat, karena sesuai dengan misiku menghentikan penyebaran miskonsepsi tersebut.
Mengajar materi yang sama ke siswa yang sama, pendekatannya juga bisa berbeda! Saat pertama bertemu kita, mungkin siswa ini pemahamannya tentang suatu materi meningkat dari 0% menjadi 25%. Kedua kali bertemu kita, dengan pemahaman 25%-nya ini dia akan mengajukan pertanyaan yang berbeda untuk materi yang sama. Ketiga kali bertemu kita, pengetahuannya 75%-nya mungkin akan memantik diskusi yang lebih dalam dan menarik, semua tentang materi yang sama. Gambarannya bisa dilihat di sebuah serial youtube kondang oleh WIRED yang menunjukkan bagaimana seorang ahli berbicara tentang suatu topik dalam 5 level kesulitan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana dalam rentang satu tahun, seseorang bisa melonjak dari level 1 ke level 4. Dari yang membuatku membantin, “Wah, hal dasar seperti ini saja dia masih kebingungan, ya,” menjadi “Damn, you guys are more knowledgeable than me now. Actually, YOU teach me!”.
Tentang OSN 2023
Pada tahun 2023, aku menantang diriku sendiri untuk mengajar olimpiade dengan lebih profesional. Aku mencoba untuk melibatkan penggunaan worksheets yang sudah kususun dengan sepenuh hati pada hampir semua kelasku, aku melakukan manajemen kelas dengan lebih teratur, dan aku merasa aku bisa bonding dengan baik dengan siswa-siswaku. Honestly, it feels good to finally feel that you are quite good at what you do. Tapi aku tahu aku masih bisa lebih baik dari ini, sehingga testimoni yang aku sebar selama pelatihan untuk diisi oleh siswaku benar-benar aku baca dan aku refleksikan sungguh-sungguh. Nggak semuanya merupakan hal positif. Ada kritik yang menyadarkanku mengenai perspektif berbeda tentang mengajar, ada kritik yang menyadarkanku tentang tipe siswa yang berbeda-beda. Semuanya berusaha aku akomodasi.
Salah satu tantangan terbesar menjadi tutor olimpiade itu adalah sedikit kemiripan yang aku rasakan dengan pelatih sebuah cabang olah raga. Segera setelah setiap pertandingan, misal bulu tangkis atau sepak bola (terutama sepak bola, like damn those football fans are ruthless), pelatih termasuk paling yang disoroti apabila atletnya menelan kekalahan. Oke, kita bisa bilang bahwa olimpiade sains adalah bagian dari pengembangan diri siswa, but at the end of the day, it is still a competition. Sometimes, there are a lot of stakes and expectation, so getting a medal almost feels like a must. Aku sejujurnya agak mual sedikit setiap rampung pelatihan dan aku mulai mendapat pertanyaan, “Jadi prediksinya si A bisa dapat medali nggak ya, Mbak?” “Ada yang bakal dapat medali emas nggak?” dan semacamnya.
Mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sudah sejak awal pada semua pelatihan persiapan ke tingkat nasional yang aku ajar, aku berniat untuk memberikan atensi penuh kepada setiap siswa. Memprediksi seseorang dapat medali atau tidak butuh konsiderasi lengkap dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa tersebut. Seorang siswa bisa saja memiliki nilai yang menonjol selama pelatihan, tapi mempertimbangkan tingkat kedewasaan, pengolahan rasa gugup, manajemen waktu, dan manajemen emosi, aku sering kali menurunkan prediksi menjadi di bawah yang ditunjukkan oleh nilai saja. Prediksi seperti ini juga hanya bisa aku lakukan apabila aku mendapat kontrol 100% terhadap desain pelatihan, sehingga aku bisa bebas mendesain program pembelajaran yang akan mengungkapkan level pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa.
Aku beruntung sekali pada persiapan tingkat nasional tahun ini, dua tempat yang aku ajar memberikan kebebasan tersebut tanpa kecuali, yaitu Catalyst Institute dan Pelatda DKI Jakarta. Di pelatihan oleh Catalyst Institute, aku menantang diriku untuk mengajar solo, termasuk di dalamnya menyiapkan simulasi praktikum. Rumahku kedatangan berbagai paket berisi alat-alat praktikum yang aku pesan lewat Catalyst, bahkan aku membuat cetakan gel elektroforesisku sendiri! DIY sih, tapi ternyata it works very well (apakah ada yang tertatik? aku berpikir untuk menjualnya hehe). Senang sekali bertemu lembaga yang mempercayai tutor dan fokus utamanya adalah memberikan kualitas pembelajaran terbaik. I passed out (re: slept all day long) for like one whole day after four days of solo teaching, but it was definitely worth it.
Pelatda DKI Jakarta menjadi kisah yang sangat meriah. Aku pernah berada di posisi iri berat dengan anak-anak Jawa Tengah saat aku mewakili Jawa Timur di OSN tingkat SD dulu. Ternyata, aku berkesempatan 6 tahun mewakili Jawa Tengah di tingkat SMP dan SMA. Aku pernah berada di posisi menganggap DKI Jakarta rival berat dari Jawa Tengah. Eh, justru tahun ini aku tenggelam sedalam-dalamnya ke dalam Pelatda DKI, bahkan sejak persiapan tingkat provinsi. Biologi DKI itu pernah berada di puncak kejayaan, sudah pernah hattrick tiga tahun berturut-turut meraih 3 emas di OSN. Tapi, untuk tahun ini keadaannya sangat berbeda. Tahun lalu, Biologi DKI tidak membawa medali emas satu pun (Jojo, aku tahu kalau kamu baca ini kamu sudah mau mengeluarkan self-deprecating jokes, but I know you did your best, really!) dan di roster tahun ini, boro-boro ada veteran medalis atau Pelatnas. Dari 10 orang, yang sudah pernah mencapai OSP tahun lalu hanya … guess what, satu orang. Yang lain, ada yang bahkan nggak ikut OSK for some reason atau memang baru pindah ke Biologi.
Aku sengaja membeberkan fakta tersebut karena aku yakin ada anak-anak OSN dari provinsi lain yang merasa saat OSN kemarin DKI Jakarta sangat OP atau apalah. Aku ingin menekankan bahwa, percayalah ketika aku akan mulai mengajar Pelatda, melirik target 3 emas dan roster yang ada, I was like … whew, it’s gonna be real hard. Tapi aku bersyukur sekali dapat kesempatan untuk membantu Biologi DKI me-resetkembali kejayaan mereka. Kondisi roster yang seperti itu sangat ideal untuk diamati perkembangannya, dari anggap saja ‘nol’ pada awal pelatihan, hingga sudah meretensi banyak pengetahuan baru di akhir pelatihan. I saw them as an empty high-quality canvas that were ready to be painted over. And boy, their final colors were indeed beautiful.
Tentang para juara OSN 2023
Setelah juara OSN 2023 diumumkan, aku menghitung ada nama 13 siswa yang aku ajar pada persiapan tingkat nasional mendapatkan medali. Sungguh, aku sangat bangga dan terharu melihat keberhasilan mereka. Tapi pada momen pasca pengumuman yang aku simak via layar laptop tersebut, yang paling aku rasakan adalah rasa … lapar :D. Akhirnya, aku kembali merasa lapar setelah beberapa hari menjelang pengumuman OSN, selera makanku menghilang … hehe. Entah kenapa, aku juga tidak tahu (LOL, sebenarnya jelas sekali kan, alasannya apa).
Aku sama sekali nggak mengklaim bahwa akulah yang membuat mereka-mereka ini mendapat medali. Aku justru belajar banyak dari mereka kualitas seperti apa yang dimiliki oleh seorang medalis itu. Dan kesimpulan yang aku dapat adalah … there is not a single quality that made up a champion. Tiga belas medalis yang aku ajar punya personality yang berbeda-beda, punya latar belakang yang beragam, dan bermacam-macam kelebihan serta kekurangan. Namun, aku sempat mewawancari beberapa dari mereka lebih lanjut sebelum menulis blog ini. Dari mereka, aku menyimpulkan ada beberapa kualitas yang secara umum dapat mendukung hasil yang maksimal di olimpiade Biologi.
Akan aku mulai dari satu outlier yang sangat menarik di OSN ini, yaitu si medali emas kedua, Keisha Rochelline Simorangkir. Roche sudah belajar denganku dari persiapan tingkat kota tahun ini. Berdasarkan pengakuannya, sekitar bulan Februari tersebut adalah awal dia benar-benar serius mempelajari Biologi. Apakah sebelumnya merupakan anak olimpiade? Benar, tapi dari kelas 10, Roche mengikuti olimpiade … coba tebak. Informatika! Alasannya pindah ke Biologi selain karena menyadari tidak enjoy belajar informatika dan memang ingin jadi dokter (anak SMAN 8 Jakarta dan FKUI memang nggak bisa terpisahkan kayaknya) adalah karena buku-bukunya yang warna-warni dan terlihat menarik ^_^.
Ya, Roche memang sangat pintar, tapi yang lebih membuatku kagum adalah bagaimana di usia yang begitu muda dia memiliki self-awareness yang sangat baik. Roche sangat mengenali dirinya sendiri, tentang cara belajar yang paling optimum untuknya, tentang caranya mengurangi rasa gugup selama mengerjakan ujian, tentang caranya belajar hal baru secara efektif dengan usaha yang seminimum mungkin. Melihat Roche di Pelatda adalah penerapan dari: she wasted no time, but still enjoyed her time and knew her limits. Roche jauh sekali dari tipikal anak olimpiade yang nerd. Bahkan in another universe, mungkin saja Roche masih melanjutkan jadi kapten cheers di SMA dan berprestasi di bidang non-akademik. Namun, aku rasa pengalaman berlomba di bidang selain olimpiade ini berkontribusi besar ke kemampuannya memanajemen stres di hari lomba.
Roche juga sangat realistis. Peringkat OSK dan OSP-nya nggak menakjubkan, hanya cukup untuk lanjut ke tahap selanjutnya, tidak sampai membuat orang jadi berharap lebih ke dia. Dia pun menyadari bahwa peserta OSN banyak yang mempelajari teori jauh lebih lama darinya, tapi semua belajar dari nol untuk praktikum. Sebab itu, dia ‘melepas’ teori dan fokus ke praktikum. Sebuah strategi yang terbayar, karena pada akhirnya Roche mendapat nilai tertinggi untuk praktikum by a large margin, dan meskipun nilai teorinya paling rendah dibanding semua peraih medali emas dan perak yang lain (Berdasarkan nilai teori saja, Roche akan menempati peringkat 15!!), penjumlahan kedua nilai tersebut cukup mengantarkannya meraih emas ke-2.
Berikutnya ada peraih medali emas ke-6 eh maksudnya, perak pertama, yaitu Timothy Fabian Gunawan :D. Fabian pernah belajar olimpiade Matematika untuk satu semester di kelas 10 sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke Biologi. Sejujurnya, Fabian ini adalah siswa impianku. Kalau disuruh menyusun karakteristik siswa seperti apa yang akan paling mudah aku ajar tapi juga memberikan kepuasan yang tinggi, jawabannya adalah siswa seperti Fabian. Fabian membutuhkan waktu untuk menguasai suatu konsep, bukan yang sekali lirik langsung faham. Tapi dia bisa menata alur berpikirnya dengan baik.
Sebagai guru, salah satu yang paling menantang adalah men-tracking progress berpikir siswa. Guru nggak bisa membuka otak siswa dan melihat proses belajar itu terjadi secara real time. Maka, mengajar Fabian menjadi mudah karena dalam prosesnya menyelesaikan soal, dia sering meminta panduan untuk hal-hal yang membuatnya meragu. “Kak, saya udah sampai sini, tapi lanjutnya bagaimana ya kak? Saya mikir bisa A, tapi bisa juga B.” Karena aku langsung tahu sampai mana pemahaman Fabian dengan pertanyaan seperti itu, aku bisa memberikan bantuan yang sesuai. Tidak langsung memberikan jawaban, tapi juga tidak terlalu abstrak sampai dia tidak bisa melanjutkan bekerja. Just the right amount of help yang membuat Fabian secara mandiri bisa melompati kebingungannya menjadi pemahaman yang lebih utuh (Buat yang tertarik belajar konsep-konsep pendidikan, yang aku lakukan ini namanya ‘scaffolding’, a teaching strategy which is very effective in my opinion, so look it up!).
Percayalah, nggak semua orang bisa mengejawantahkan kebingungannya seperti Fabian. Aku sering menerima kerjaan siswa yang belum selesai atau tidak tepat, tapi ia sendiri tidak tahu apa yang tidak ia mengerti. Aku menjadi harus mencermati kerjaan tersebut sambil mewawancarai siswa untuk mendapat gambaran cara berpikirnya. Barulah dengan informasi tersebut aku bisa point out step apa yang miss. Aku menikmati juga mengajar siswa-siswa seperti ini, sebab aku bisa berlatih tracking mundur: melihat hasil dulu baru identifikasi masalah pada proses pengerjaan. Tapi kembali lagi, siswa seperti Fabian memang sangat effortless buat diajar.
Di akhir Pelatda DKI, akumulasi nilai Fabian menempatkannya di peringkat 3. Namun, di prediksi, aku menempatkannya di peringkat 2 dengan ekspektasi emas atau perak atas. Di sini lah sikap Fabian menjadi highlight yang membuatku berekspektasi cukup tinggi. Self-awareness Fabian juga cukup baik. Dia tenang dalam tekanan waktu dan bisa memaksa otaknya untuk berpikir bahkan sampai detik-detik terakhir durasi tes. Percayalah, banyak orang yang sudah putus asa memecahkan soal dalam menit-menit terakhir, but Fabian is the type that gives everything till the end. Meskipun di OSN Fabian gagal memberikan performa terbaik di topik praktikum yang ia unggulkan sebelumnya, he still did a very, very good job. Maaf yaa, Fabian, aku dan Jojo sering membahas perak pertama HEHE. Perak pertama is honestly so cool! I consider perak pertama as another gold medalist because truly their skills are usually at the same level. Just need a lil bit of luck ;).
Menariknya adalah, Roche, Fabian, dan hampir semua roster Biologi DKI Jakarta hobi membaca dan menulis. Ada yang merupakan pembaca buku fantasi yang tebalnya bisa mengalahkan Campbell hingga terinspirasi untuk menulis sendiri cerita fantasi (sudah tertulis dalam Bahasa Inggris sepanjang 150.000 kata), ada yang sampai sekarang masih aktif menulis AU di twitter dan AO3, ada yang pernah menulis di Wattpad, dan lain-lain. Aku melihat ini pola yang ternyata sangat mendukung pembelajaran Biologi. Let’s say Roche dan Fabian tidak mendalami Biologi dari SMP, tapi mereka tidak terintimidasi melihat paragraf demi paragraf berbahasa Inggris di buku-buku Biologi. Maka, dengan arahan yang tepat untuk membaca buku tertentu, berbekal kemampuan literasi tersebut, komprehensi mereka bisa sangat tinggi. Inilah yang memberi kesan “Kok belajar bentar udah bisa sih? Aku yang belajar sejak dulu masih gini-gini aja!”. Padahal, orang-orang yang kita kira “baru belajar bentar” ini sejak dulu sudah mengumpulkan skill untuk akhirnya bisa belajar Biologi dengan relatif cepat.
To sum it up, seorang juara olimpiade Biologi:
- Memiliki self-awareness yang tinggi dalam mengelola emosi, strategi belajar, dan rasa ‘terbebani’.
- Mampu menata alur berpikir, sehingga tidak perlu benar-benar langsung mengerti suatu konsep di usaha pertama mempelajarinya, tapi bisa merevisi beberapa konsep rumpang secara mandiri setelah berusaha mendalami konsep tersebut berulang-ulang.
- Memiliki kemampuan literasi dan Bahasa Inggris yang tinggi.
- Memiliki supporting system yang oke, sehingga bisa meng-upgrade pengetahuan mereka selama mempersiapkan setiap tingkat olimpiade dengan guru yang ahli di bidangnya.
Poin 4 memang agak kontroversial dan apabila dibahas lebih lanjut cukup mengungkapkan ketimpangan pendidikan di Indonesia, serta menegaskan bahwa beberapa pihak memang memiliki privilese yang jauh lebih banyak dibanding pihak lain. Namun, aku rasa pembahasan tentang anak-anak ber-privileged seperti Roche dan Fabian serta provinsi super-privileged seperti DKI Jakarta penting untuk dilakukan supaya semakin banyak orang yang mengetahui best practice dari persiapan olimpiade Biologi itu seperti apa. Tentu setiap individu dan provinsi akan mengalami tantangan spesifiknya masing-masing, tapi setidaknya dengan sebuah patokan best practice yang ingin diwujudkan, mereka bisa membuat strategi penyelesaian masalah yang terarah. Maka dari itu, aku berusaha untuk membuat ulasan ini sedetail mungkin dan tidak superficial, supaya tidak ada yang menyimpulkan bahwa jadi juara olimpiade itu “Udah pintar dari sananya” atau “Yaiyalah, kan provinsinya ngasih Pelatda lama banget”. Semoga benar bisa tersampaikan.
Pada tulisan selanjutnya, aku akan membahas lebih lanjut tentang apa kira-kira rahasia DKI Jakarta hingga bisa kembali meraih Juara Umum di OSN tahun ini (dan apa yang hilang dari Jawa Tengah sampai tidak lagi menjadi 5 besar provinsi). Aku juga akan mengungkapkan sisi lain dari siswa-siswaku—tidak terkait dengan performa mereka di OSN—yang sungguh membuatku bahkan lebih bangga daripada ketika mereka berhasil membawa medali!
Until next time!